Beautiful Words

Beautiful words stir my heart. I will recite a lovely poem about the king, for my tongue is like the pen of a skillful poet.

Hidup yang Penuh Makna di Bawah Matahari


Berabad silam, seorang pengkhotbah yang bijaksana menyampaikan perenungannya tentang makna kehidupan.  Dalam tulisannya yang tergolong sebagai sastra hikmat, sang pengkhotbah menyatakan, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.  Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal.” (Pkh. 3: 2)  Ya, waktu untuk lahir merupakan awal seorang manusia di bawah langit.  Namun ini bukanlah perjalanan tanpa akhir.  Ada batas waktu yang tak dapat ditolak oleh siapapun, yaitu waktu untuk meninggal.  Di antara dua fase itulah manusia menjalani kehidupan yang penuh warna dan dinamika.  Manusia bekerja, belajar, bersenang-senang, berkreasi, menikmati kebahagiaan, pesta pora, kemakmuran, kesuksesan, tetapi di dalamnya ada pula kepedihan, kesepian, kesakitan, kemiskinan, kehancuran, serta ketidakadilan.  Semua bisa datang kapan saja, menimpa siapa saja, entah layak mengalaminya ataupun tidak.  Tentang semuanya itu, sang Pengkhotbah yang kaya-raya dan berkuasa serta memiliki potensi dan kesempatan untuk menikmati segala sesuatu yang tersedia di dunia, menyampaikan pandangannya yang bernada skeptis: “Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.” (Pkh. 1: 2)  Lalu, tentang berbagai hal yang dilakukan manusia di sepanjang perjalanan hidupnya di bawah matahari, sang Pengkhotbah pun menyimpulkan dengan pesimis bahwa semua itu hanyalah “usaha menjaring angin.”  Apa maksudnya?

Hebel, Hebel, Hebel

Hebel, sebuah kata dari bahasa Ibrani yang dalam beberapa salinan diterjemahkan sebagai kesia-siaan, vanity, meaningless, futility, adalah kata yang diulang sebanyak 37-38 kali dalam Kitab Pengkhotbah.  Hebel, sebuah kata yang bermakna “sehembus nafas, setiup angin, sekepul asap, uap air” merupakan kata yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa singkatnya hidup manusia.  Apakah hidup selama 30, 50, 60, 70, 90, atau 100 tahun, semua tak ubahnya dengan satu hembusan nafas bila dibandingkan dengan waktu tanpa batas, yaitu kekekalan, ke mana setiap manusia akan pergi.

Hebel adalah kata yang sama yang juga dipakai dalam  Mazmur 39: 6, 7.  “Sungguh, hanya beberapa telempap saja Kautentukan umurku; bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang ‘hampa’. Ya, setiap manusia hanyalah ‘kesia-siaan’! Sela.  Ia hanyalah bayangan yang berlalu! Ia hanya mempeributkan yang ‘sia-sia’ dan menimbun, tetapi tidak tahu, siapa yang meraupnya nanti.”  Sama dengan sang Pengkhotbah, Pemazmur pun memandang hidup manusia sebagai “hebel”.  Sangat singkat, bagai sekelebat bayangan yang berlalu.  Renungkanlah…. betapa yang singkat itu akhirnya dapat benar-benar menjadi sia-sia bila manusia hanya mencari kepuasan dan makna hidupnya dari apa yang fana dan sementara!  Apa pula faedahnya kemegahan dan kebanggaan di bawah matahari, bila pada akhirnya semua yang dengan susah payah dikejar dan dipertahankan itu harus ditinggalkan dan tidak memberi kontribusi apapun untuk kekekalan.  Sampai pada titik ini, sungguh tepat bila sang Pengkhotbah menggambarkannya sebagai kesia-siaan dan usaha menjaring angin.  Lalu, bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup sehingga tidak terjebak dalam pusaran kesia-siaan dan usaha menjaring angin?

Hidup yang Berpusat Pada Kristus

Sang Pengkhotbah tidak bermaksud mengatakan bahwa hidup manusia tiada artinya dan sia-sia, tetapi itulah yang akan terjadi apabila manusia menjalani hidup dengan cara sesuka hatinya sendiri serta melakukan hal-hal yang baik menurut anggapannya sendiri, tanpa sungguh-sungguh mencari Tuhan.  Oleh sebab itu, mari kembali pada pernyataan sang Pengkhotbah tentang masa bagi manusia di bawah langit: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.  Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal.”  Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan memiliki kuasa dan kedaulatan penuh atas segala sesuatu, termasuk menetapkan waktu kelahiran dan kematian setiap orang, tanpa manusia dapat memilihnya.  Namun, antara kelahiran hingga kematian terdapat sebuah rentang waktu di mana manusia menjalani hidupnya dan dalam kehidupan inilah manusia diberi kehendak bebas untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri, termasuk yang berkaitan hubungan dengan Tuhan.

Puji syukur kepada Allah Bapa, bila pada satu momen kita telah mengambil keputusan untuk menerima karya keselamatan di dalam Yesus Kristus.  Itu adalah kasih karunia.  Perubahan status menjadi umat tebusan dan anak Allah inilah yang membuat perbedaan signifikan bagi keseluruhan hidup kita.  Pada saat kita menerima Yesus Kristus, pada saat itu pula terjadi perpindahan tujuan dalam kekekalan, yaitu dari maut kepada hidup, dari kutuk kepada berkat, dari kesia-siaan kepada panggilan Ilahi.  Iman kepada Kristus merupakan sebuah langkah yang seketika menempatkan kita pada jalan anugerah, di mana tersedia kuasa tanpa batas yang membuka kesempatan bagi kita untuk melakukan perkara-perkara mulia yang kekal, sesuai dengan waktu dan ketetapan Tuhan.

Kuasa telah diberikan, pertolongan dan penyertaan telah tersedia, tetapi bagaimana hasil akhirnya bergantung bagaimana kita menjalani hidup, apakah kita sungguh-sungguh menjadikan Kristus sebagai pusat hidup kita atau tidak.  Menjadikan Kristus sebagai pusat hidup kita berarti menjadikan Kristus sebagai satu-satunya sumber, tujuan dan motivasi utama, yang mendasari dan mewarnai seluruh pemikiran, tindakan dan sikap hati kita dalam seluruh aspek kehidupan.  Sejauh mana kita menjadikan Kristus sebagai pusat hidup kita akan terefleksi dari setiap pilihan respon kita terhadap segala hal yang diijinkan Tuhan terjadi di sepanjang perjalanan hidup kita.  Apakah kita menuruti keinginan daging atau kehendak Roh Kudus, menuruti perasaan atau taat melakukan firman Tuhan, tetap percaya atau menjadi kecewa dengan Tuhan, serta tetap setia sampai akhir atau meninggalkan Tuhan.  Pada akhirnya, pilihan demi pilihan sikap inilah yang akan menentukan hidup seperti apa yang kita jalani,  sia-sia ataukah menghasilkan buah-buah bagi Kerajaan Sorga.  Kelak, kita harus mempertanggungjawabkannya.

Menikmati Hidup di Dalam Takut akan Tuhan

“Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang.  Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.” (Pkh. 12: 13-14)

Sebenarnya, seluruh perjalanan hidup ini merupakan sebuah persiapan bagi sebuah pertanggungjawaban yang tidak terelakkan, yang harus dihadapi tiap-tiap orang, secara pribadi.  Kelak, tidak ada alasan dan pembelaan bagi setiap dosa dan kesalahan, sebab Tuhan telah memberi kesempatan seumur hidup bagi kita untuk bertobat, diubah dan dibentuk oleh Tuhan.  Oleh sebab itu kita harus sungguh-sungguh hidup benar di hadapan Tuhan, sebab seluruh respon kita terhadap Tuhan ketika kita masih hidup saat ini sangat menentukan bagaimana dan di mana kita akan berada dalam kekekalan.  Tuhan telah menganugerahkan keselamatan, memberikan Roh Kudus sebagai Penolong dan Penghibur, serta telah memberikan firman yang menjadi penuntun dan mengandung janji-janji yang kita butuhkan.  Kita hanya harus senantiasa hidup dalam takut akan Tuhan.  Bukan takut akan penghakiman, meski itu juga akan terjadi, tetapi takut karena kasih dan hormat.  Maka, kita akan dapat melihat dan menyikapi hidup ini dengan benar sehingga dapat menerima dan menikmati yang disediakan Tuhan dalam hidup kita dengan rasa puas dan syukur.  Dengan demikian, fokus kita bukan pada kenikmatan dan kesenangan dunia, tetapi pada Tuhan yang mengaruniakan segala sesuatu, sebagaimana nasihat sang Pengkhotbah: “Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan Allah kepadanya, sebab itulah bahagiannya.  Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah.” (Pkh. 5: 18-19) 

Hidup memang tidak mudah, mungkin kita telah berbuat salah dan gagal berkali-kali, tetapi selama kita segenap hati mau menyerahkan diri kepada Tuhan, maka Tuhan akan menolong kita bangkit lagi dan lagi.  Kasih-Nya selalu mengampuni dan kuasa-Nya pasti menguatkan dan memampukan kita untuk hidup sesuai tujuan dan rencana-Nya, sehingga hidup dan jerih payah kita tidak sia-sia.  Maka kelak… ketika kita berdiri berhadapan muka dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatan kita, kita akan memandang wajah Yesus Kristus tanpa rasa tertuduh, tetapi dengan kelegaan dan syukur karena Dia telah membuat hidup kita menjadi bermakna.  Amin.

 

(Sella Irene – Beautiful Words)

Posted in English: please click here

 

Photo Credit: Google Images  (Edit with Pixlr Apps)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

translate this blog

Follow Beautiful Words on WordPress.com

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 505 other subscribers

Archives

%d bloggers like this: