Beautiful words stir my heart. I will recite a lovely poem about the king, for my tongue is like the pen of a skillful poet.
Dua bulan lalu suami saya berulang tahun. Di antara beberapa hadiah yang ia terima, ada satu yang kemasannya jauh dari kata indah sebagaimana layaknya sebuah kado. Tampak beberapa garis bekas lipatan pada kertas kadonya, seakan si pembungkus kado harus membongkar lipatannya beberapa kali sebelum akhirnya berhasil membungkus hadiahnya dengan baik, menurut pandangannya tentunya. Tetapi semua berubah setelah kami membukanya. Bukan karena isinya adalah benda mahal yang dikamuflase dengan bungkus seadanya seperti yang kadang dilakukan sebagian orang untuk membuat surprise. Bukan pula karena berisi benda yang sedang kami butuhkan. Isinya “hanyalah” lima sachet kecil coklat bubuk untuk minuman. Pada kemasannya tertempel selembar kertas karton pink yang biasa dipakai oleh anak-anak untuk membuat prakarya, bertuliskan ucapan selamat dan doa sederhana dengan tulisan tangan khas anak-anak. Itu adalah hadiah dari keponakan kami, Joceline, yang masih berusia lima tahun. Seketika hati kami menjadi hangat.
Mamanya bercerita betapa Joceline sangat menyukai segala bentuk coklat. Biasanya dia akan merengek dengan muka sedih dan memelas bila coklatnya harus diberikan pada orang lain. Tetapi kali itu dia sangat bersemangat menulis kartu dan membungkus coklatnya. Masih melekat dalam ingatan kami bagaimana Joceline memberikan sendiri hadiahnya dengan mata berbinar dan senyum terlukis di wajahnya. Meski coklat itu secara nominal jauh lebih rendah dibanding kado lainnya, tetapi sekarang kami punya alasan untuk menempatkan hadiah itu pada posisi istimewa di hati kami.
Bagaimana dengan kita dan Bapa? Sudahkah kita mempersembahkan yang terbaik dari diri kita dan menyenangkan hati-Nya? Sudahkah kita mempersembahkan seluruh hidup ini sebagai hadiah istimewa bagi-Nya?
Dalam Injil Markus 12:41-44 dan Lukas 21:1-4 tertulis kisah tentang seorang janda miskin yang memberi dua peser. Perikop ini secara literal mengisahkan tentang memberi persembahan di Bait Allah, tetapi saya percaya bahwa kualitas dalam memberi seperti yang dilakukan oleh janda miskin itu juga harus kita miliki di dalam setiap segi kehidupan. Sebab sesungguhnya setiap hal yang kita lakukan dalam hidup ini haruslah menjadi persembahan dan penyembahan kita kepada Tuhan.
Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar.
Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit.
Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.
Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
(Markus 12:41-44)
Yesus tidak sekedar duduk dan melihat, tetapi Dia memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Tuhan Yesus mengamati setiap mereka dan pandangan matanya menembus hingga ke dasar hati. Lebih dari sekedar mengetahui nominal uangnya, Dia mengenal setiap jalan kehidupan dan motivasi mereka. Di antara sekian banyak orang yang memberikan persembahan, Yesus memuji seorang janda miskin yang memasukkan uang dua peser, yaitu satu duit, koin terkecil dan paling tidak berharga di antara koin yang beredar di Yudea saat itu.
Apa yang membedakan persembahan janda miskin itu dengan yang lain? Apakah yang memberikan persembahan pada saat itu kebetulan semuanya adalah orang-orang kaya dan wanita ini adalah satu-satunya yang miskin? Tidak adakah janda miskin lain yang saat itu juga memberi persembahan? Kita tidak tahu pasti karena Alkitab tidak memberitahu detail tentang hal itu. Tetapi yang pasti ini BUKAN TENTANG JUMLAH UANG dan juga BUKAN TENTANG KAYA ATAU MISKIN. Ini tentang SIKAP HATI DAN KEHIDUPAN DI BALIK SEBUAH PERSEMBAHAN.
Perkataan Yesus dalam ayat 44 adalah kuncinya: “Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” Ketika itu dua peser sama nilainya dengan biaya makan satu orang per hari. Bukan makanan mewah tentunya. Kita harus ingat bahwa ia seorang janda miskin. Uang dua peser itu pasti sangat berarti baginya. Dua peser itu adalah nafkah penyambung hidupnya, tetapi ia memberikan semuanya kepada Tuhan. Itulah yang membuat persembahannya jauh lebih bernilai di banding yang lain. Di dalam persembahan janda miskin ini ada PENGORBANAN yang didasari oleh IMAN. Dia tak akan memberikan seluruh nafkahnya jika ia tidak memiliki iman bahwa Tuhan yang baik pasti memelihara dan tidak akan pernah meninggalkannya. Dengan kata lain, melepaskan seluruh nafkahnya sama artinya dengan mempercayakan hidupnya ke dalam tangan Tuhan. Itu adalah bagian TERBAIK yang bisa dia berikan kepada Tuhan.
Sekarang mari melihat hal ini dalam konteks yang lebih luas. Sesungguhnya kita tidak akan pernah bisa “memberi” kepada Tuhan sebab segala sesuatu berasal dari pada-Nya:
“…Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.” (Mzm 24:1)
“Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Roma 14:7-8)
Bila seluruh alam semesta termasuk diri kita adalah milik Tuhan, maka apa yang dapat kita berikan kepada-Nya? Tidak ada! Jadi, ketika kita “memberi” persembahan kepada Tuhan sesungguhnya kita sedang “mempersembahkan kembali” apa yang sebenarnya memang milik-Nya. Ini tidak terbatas uang saja, tetapi seluruh hidup kita. Apapun yang kita perbuat dalam hidup ini haruslah menjadi sebuah persembahan yang berkenan dan menyenangkan hati Tuhan, tetapi semuanya harus dilakukan di dalam iman kepada Kristus.
Iman adalah dasar pengharapan kita akan janji Tuhan. Iman membuat kita rela berkorban karena kita yakin bahwa apa yang kita lakukan di dalam Tuhan tidak akan sia-sia. Kita mengorbankan kesenangan terhadap dosa dan hasrat kedagingan demi menaati firman-Nya. Iman meneguhkan kita untuk setia sampai akhir karena kita percaya bahwa ada upah yang menanti kita di Sorga. Dan hanya iman yang membuat kita sepenuhnya bisa mempercayakan seluruh hidup kita dalam tangan-Nya selama kita berjalan di dalam dunia. Iman harus menjadi dasar dalam segala tindakan kita, sebab tanpa iman semua yang kita persembahkan tak ubahnya aktivitas biasa tanpa nilai kekal. Dan di atas segalanya, KASIH harus menjadi penggerak dan motivasi yang utama sebab tanpa kasih semua pengorbanan kita tidak berguna.
“…dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.” (1 Kor 13:2b-3)
Dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 23:1-36 ; Mrk 12:38-40 ; Luk 11:37-54 ; Luk 20:45-47). Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ini adalah orang-orang yang sangat dihormati dan berpengaruh pada masa itu. Perkataan mereka bagaikan hukum yang harus ditaati oleh orang-orang Yahudi. Tetapi Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang munafik, yang mengetahui dan mengajarkan kebenaran namun mereka sendiri tidak melakukannya. Mereka nampak saleh dan bersih di luar, tetapi dalamnya penuh sampah dan kebusukan. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan” (Matius 23:27-28). Mereka melakukan segala sesuatu hanya demi dilihat orang: “Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang;…” (Mat 23:5a). Tampaknya pada masa itu ada sebuah kebanggaan tersendiri jika dipandang sebagai orang saleh dan taat beribadah, sehingga ada kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu dengan tujuan agar dilihat oleh orang lain. Di tengah atmosfir rohani seperti itu, ketulusan adalah sesuatu yang langka.
Kembali pada janda miskin dengan dua pesernya. Apa yang bisa dibanggakan dari uang dua peser dibanding persembahan orang-orang kaya yang pasti bergemerincing nyaring ketika dimasukkan ke dalam peti persembahan. Uang banyak yang bergemerincing itu mungkin mengundang decak kagum dan hormat dari orang-orang yang melihatnya. Ini kontras dengan persembahan si janda miskin. Tak ada kebanggaan yang diperoleh janda ini di mata manusia walau ia memberikan seluruh nafkahnya yang hanya dua peser itu, bahkan mungkin saja ia justru diremehkan. Janda ini hanya memberi dengan tulus kepada Tuhannya tanpa mencari pujian manusia, sebab tidak mungkin Tuhan menghargai persembahannya jika ia melakukannya dengan sikap hati yang salah.
Jauh lebih dari sekedar performa, Tuhan melihat hati. Motivasi yang salah membuat semua yang kita lakukan menjadi salah. Melakukan hal yang baik tetapi tidak tulus sama dengan menipu diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Tulus berarti apa yang dilakukan dan dikatakan selaras dengan yang ada di dalam hati. Lebih dari itu, kita tak ubahnya seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang munafik. Bila kita rindu hidup kita menjadi persembahan yang berkenan kepada Bapa maka seluruh perbuatan kita harus benar-benar tulus, apa adanya, dan bukan sekedar nampak indah pada kemasannya.
Segala sesuatu yang dilakukan dalam ketulusan dan pengorbanan untuk memberi yang terbaik yang digerakkan hanya oleh kasih serta didasari oleh iman kepada Kristus akan menjadi persembahan yang berkenan kepada Tuhan.
Sesungguhnya tak ada satupun persembahan kita yang dapat membuat Tuhan terkagum-kagum dan terpesona sebab semua harta, talenta, dan kreativitas manusia bersumber dari Dia. Sebagus apapun kita bernyanyi, tak akan seindah nyanyian malaikat di Sorga. Sehebat apapun pelayanan maupun pekerjaan yang kita lakukan, akan selalu memiliki kekurangan dan kelemahan. Yang membedakan persembahan satu orang dengan orang lainnya adalah HATI YANG BAGAIMANA yang terlibat di dalamnya sebab tidak ada perkara yang kita lakukan tanpa melibatkan hati, entah hati kita benar ataupun salah! Di dalam hati terkandung motivasi yang melatarbelakangi setiap tindakan kita, yang pada akhirnya akan MENENTUKAN KUALITAS persembahan kita.
Hadiah yang diberikan Joceline pada suami saya tidak terlalu berarti dibanding kado lain yang kami terima. Tetapi mengingat sikap hatinya yaitu kasih, ketulusan, pengorbanan dan kerelaannya memberikan apa yang ia sendiri sukai, serta sukacitanya saat menyerahkan hadiahnya, membuat kado sederhana itu jadi hadiah istimewa. Bagaimana dengan hati kita?
Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. (Matius 6:21)
SEJAUH MANA DAN KEPADA SIAPA kita percaya, mengasihi, berkorban, dan memberi, semua TERGANTUNG PADA APA ATAU SIAPAKAH yang menjadi harta berharga di dalam hati kita. Bila Tuhan menjadi harta yang paling berharga bagi kita maka hati kita akan melekat kepada-Nya. Bila hati kita sungguh-sungguh melekat kepada Tuhan maka kita pasti menjadikan Dia sebagai pusat dan alasan utama kita dalam menjalani hidup. Si janda miskin telah mempersembahkan dua peser berharganya kepada Tuhan. Marilah kita dengan iman dan kasih yang tulus mempersembahkan kembali “dua peser” kita, yaitu seluruh kehidupan kita, sebagai hadiah istimewa bagi Bapa. Saya percaya Roh Kudus menyertai kita. Kuat dan kuasa-Nya akan menolong kita bukan hanya untuk memilih apa yang benar, tetapi juga melakukan dengan hati yang benar dan dengan cara yang berkenan kepada Allah. Amin.
Oleh: Sella Irene – Beautiful Words
Posted in English: A SPECIAL GIFT (click here)
Foto: koleksi pribadi